Text
Leiden
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi tidak membuat gadis bertubuh kurus itu menyudahi kegiatan belajarnya. Dia adalah Rhea Gilda Nagendra, gadis itu masih saja sibuk membolak-balikkan halaman buku tebal yang ada di tangannya. Ia masih bertahan mempelajari buku yang berisi tabel-tabel angka yang tampak sangat rumit.
Sebenarnya, Rhea sudah memahami materi yang ada di buku itu, tetapi jika ia berhenti belajar sekarang, maka sang Ayah akan marah besar dan memukulinya lagi. Bahkan, luka di sudut bibirnya saja masih terasa sakit dan belum kering. Tiba-tiba saja, ponsel milik Rhea bergetar, menandakan ada pesan yang masuk.
Sebelum mengambil ponselnya, Rhea melihat dulu ke arah pintu luar ruang belajarnya, memastikan bahwa ayahnya tak melihat ia sedang memainkan ponsel. Rhea menemukan notifikasi Whatsapp dari Fera Teresia. Ia menyuruh Rhea segera ke rumah Karina saat itu juga. Rhea menanyakan ada kepentingan apa, karena Rhea tidak diperbolehkan untuk keluar pada malam hari.
Pesan berikutnya yang dikirimkan Fera sangat memilukan, itu adalah hal yang paling tidak diharapkan oleh Rhea. Fera mengatakan bahwa Karina, sahabat satu-satunya Rhea, telah meninggal karena gantung diri. Fera kemudian mengirimkan sebuah foto kepada Rhea.
Ponsel yang Rhea pegang pun jatuh ke lantai begitu saja. Nyawa Rhea seakan ditarik beberapa detik saat membaca pesan terakhir dari Fera. Ditambah lagi melihat foto rumah Karina yang sudah dipenuhi para pelayat. Ia juga menemukan ada bendera kuning di depan rumahnya.
Karina bunuh diri. Dunia Rhea seakan hancur dibuatnya. Karina adalah satu-satunya orang yang peduli dengannya, tetapi kini dia telah tiada. Pergi meninggalkan Rhea sendiri di dunia yang kejam ini. Rhea masih mencoba untuk memproses informasi tersebut. Ia juga beberapa kali menyangkal kenyataan itu.
Rhea menggeleng tidak percaya akan pesan yang dikirim Fera. Karina tidak mungkin tega meninggalkannya, begitu pikirnya. Air mata mengalir dari pelupuk matanya. Rhea mempertanyakan kepada Tuhan, apakah semua ini hanya mimpi?
Mendengar suara barang jatuh membuat Faiza, ayah Rhea menanyakan apa yang terjadi. Mata Faizan kemudian menemukan ponsel Rhea yang sudah tergeletak di lantai. Ayahnya pun berteriak menyadarkan Rhea bahwa ponselnya jatuh. Rhea langsung berlari menghampiri Faizan, dan memegang lengan kekar sang ayah. Ia kemudian meminta ayahnya untuk segera mengantarnya ke rumah Karina.
Ayah Rhea menanyakan, apa yang ingin dia lakukan di sana? Besok ada ulangan harian, maka itu Faizan memerintah Rhea untuk kembali belajar. Rhea menggelengkan kepalanya, air matanya semakin deras membasahi pipinya. Ia kemudian meminta tolong ke ayahnya dan mengatakan bahwa Karina meninggal karena bunuh diri.
Rhea pun jatuh berlutut di depan ayahnya. Bahkan, ia memegangi kedua kaki Faizan dan terus memohon. Air matanya membasahi kaki Faizan yang memakai sepatu pantofel berwarna hitam mengkilat. Faizan pun terdiam sejenak.
Tak lama berdiam, ayahnya membuka suara. Ia mengatakan bahwa dirinya tak peduli, dan memerintah Rhea lagi untuk kembali belajar. Rhea memegangi kaki ayahnya semakin erat, kemudian memohon untuk kali ini saja mengijinkannya keluar, karena Karina lebih penting dibanding ulangan. Namun, Rhea mengatakan itu dengan nada suara yang cukup tinggi.
Faizan pun mendesis marah. La juga mengibaskan kakinya, membuat Rhea melepaskan pegangannya. Ia memperingatkan Rhea untuk jangan sampai membuatnya marah. Namun, Rhea tetap memohon kepada sang ayah.
BUGH – Rhea terdorong ke belakang sampai punggungnya membentur meja belajar. Suara rintihan pun terdengar dari mulut kecil gadis itu. Ayahnya menendang bahunya tanpa perasaan, membuat punggung Rhea terasa sangat sakit.
Ayahnya kemudian jongkok dan mencengkram dagu Rhea dengan kuat. Ia mempertanyakan Rhea yang berani membentaknya, dan memperingatkannya untuk tidak melakukannya lagi, atau ia akan memukulinya dengan lebih kasar. Faizan pun kemudian menghempaskan dagu anak gadisnya itu ke samping.
Ayahnya kemudian kembali menyuruh Rhea untuk belajar, dan memberitahu bahwa hal itu lebih penting dilakukan daripada melihat mayat sahabatnya. Rhea meringkuk di lantai yang dingin. Dinginnya lantai langsung menusuk kulitnya yang hanya dilapisi baju tidur berlengan pendek. Rhea pun menangis mengeluarkan rasa sesaknya.
Baru saja tadi sore ia bertemu dengan Karina, dan sahabatnya itu masih baik-baik saja, meskipun mata Karina terlihat sedikit membengkak. Rhea tau bahwa Karina tertekan akibat perpisahan kedua orang tuanya. Namun, ia tak berpikir bahwa Karina akan melakukan hal senekat ini. Ulu hatinya terasa ditusuk dengan belati beracun.
Bahkan rasa sakit ini ini lebih dari pukulan keras sang ayah kalau menggunakan ikat pinggang.
Dengan sisa tenaganya, Rhea mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai. la segera menelpon kekasih tercintanya. Baru saja ingin mengucapkan salam, Skala telah mencaci Rhea, karena ia kalah ngegame akibat telpon Rhea.
Rhea hanya bisa memejamkan mata mendengar cacian dari Skala. Setelah menerima pukulan dari sang Ayah, Rhea juga telah terbiasa dengan cacian dan makian dari Skala. Ia kemudian meminta Skala untuk menjemputnya dan mengantarkan ke rumah Karina. Namun, Skala langsung menolaknya mentah-mentah dan mengatakan kepada Rhea untuk tidak menyusahkan dirinya.
Rhea mencoba memohon kepada Skala, tetapi kekasihnya itu malah menutup sambungan telpon begitu saja. Sekarang Rhea benar-benar sendiri. Karina yang selalu menjadi tempat bersandarnya kini telah pergi ke tempat yang tidak mungkin bisa ia gapai. Lantas, kini Rhea harus bersandar kepada siapa?
Diacuhkan oleh kekasihnya, dikasari oleh sang ayah, tidak dipedulikan oleh ibunya, dan yang paling menyakitkan adalah ditinggal oleh sahabat satu-satunya. Segala hal itu membuat Rhea semakin terpuruk. Rhea benar-benar berada di titik yang paling rendah dalam hidupnya. Tidak ada siapapun yang peduli dengan kehadirannya.
Ditambah lagi dengan penyakit yang bersarang di tubuhnya, membuat Rhea semakin benar-benar kehilangan keinginan untuk hidup. Tampaknya, kebahagiaan sama sekali tidak pernah hadir ke kehidupan Rhea. Lantas, untuk apa Rhea hidup kalau harus selalu menderita. Tuhan, Rhea sudah tidak sanggup. Rhea ingin istirahat. Untuk selamanya.
Tidak tersedia versi lain